--> Skip to main content

Di antara semuanya, orang Surabaya memang yang paling kejam


Beberapa kali kakek usia 85 tahun itu mengulangi kalimatnya untuk saya,

“… tidak ada yang percaya kepada yang saya katakan, teman teman saya sudah matian semua jika ingin menanyai kebenarannya, kecuali jika ke kantor veteran, masih ada beberapa di sana  yang mengenal saya…”

Saya hanya tersenyum mengangguk mendengar cerita kakek ini, ia adalah seorang juragan tanah daerah di mana saya tinggal saat ini. Saya masih menatapnya dengan serius, menunggu kalimat lanjutan dari bibir keriput yang sudah kenyang dengan pengalaman dunia itu.

“… Saat berperang di Sanga Sanga dulu, umur saya kurang lebih masih 16 tahun, badan saya kecil, hanya satu setengah meter saja tinggi saya, tapi saya tidak tidak takut. Banyak yang memiliki badan besar seperti kamu, tapi kada berani…”
 
Sambil berbicara kakek itu menunjuk ke saya yang memang sedang menggunakan kaos tanpa lengan, sehingga mungkin baginya terlihat berotot, padahal postur saya juga kecil, masa kecil sebagai petani saja yang mungkin membuat saya tampak ada musclenya. Dan kata “kada” dalam bahasa Banjar, berarti tidak atau bukan.

“… pemimpin kami dulu itu, orang Jawa, orang Surabaya, badan besar besar, tinggi, dan ndak ada takutnya sama sekali, semua dilibasnya, pernah dulu ada satu orang, pangkatnya letnan satu, orang  Surabaya, kejamnya ae,  bukan main, semua tentara Belanda disembelihnya, digoroknya, tidak perduli dia, mau minta ampun, mau merengek, mau menangis, disembelehnya juga…”

Kakek ini terus bercerita kepada saya, dengan logat bahasa Banjarnya yang kental.


Saya tidak tahu, jika ia menyebut pulau Jawa, orang Jawa, maka yang akan ia sebut adalah Surabaya dan Bandung, saya kurang tahu persis apakah yang dimaksud adalah memang benar benar kota Surabaya dan Bandung secara real, ataukah sepengetahuan kakek ini, bahwa pulau Jawa hanya ada kota Surabaya dan Bandung saja, sehingga jika menyebut istilah Surabaya dan Bandung, maka ia pikir sudah mencakup seluruh kawasan pulau Jawa. 

Saya tidak tahu pasti, apakah maksudnya demikian atau bukan.

“… Orang Surabaya pak ya, yang paling berani dan menjadi komando dalam pertempuran di Sanga Sanga dulu…? “ saya memberi respon sambil mengganggukkan kepala. “… Kalau Kalimantan perangnya memang di daerah Sanga Sanga pak, atau di daerah lain juga…? “ Tanya saya kembali..

“… Iya orang Surabaya itu, ndak ada takutnya sama sekali, kita menghadapi Belanda dulu urang tiga puluh, bedilnya paling punya sepuluh, begantian kita, selebihnya pakai bambu runcing, mandau, parang, tapi ya itu ndak takutnya. Pernah saya lihat teman saya mati ditembak Belanda, bedarahan saja jatuh ke tanah, orang lain behambur, belarian, tapi ya itu saya dan orang Surabaya terus saja maju, ndak ada takutnya, heran juga saya, kalau ingat sekarang, gemetar juga saya, bodohnya ae… orang bebedil, kita cuma beparang.. ”

Saya mendengar serius cerita kakek ini, menunggu kalimatnya selanjutnya.

“… Di Sanga Sanga kan ada tambang minyak dulu, pasukan belanda ya di situ, jadi perangnya di sana. Tempat lain juga ada, tapi yang saya ikut yang di Sanga Sanga itu..”

“… pasukan dari mana mana datangnya, dan orang Surabaya itu jadi komando dan pemimpin tempur, kejam, tegas dia, ndak ada kompromi sama Belanda, dibunuhnya semua.., tapi sekarang ndak ada yang percaya saya pernah berperang, teman teman saya sudah matian semua…” Kakek itu mengakhiri ceritanya,  dengan mata terpekur menatap tanah di bawahnya, ada raut kesedihan menggelayut di bola matanya.

Saya tersenyum menatapnya…

“ Saya percaya pak, dan saya suka mendengar kisah tentang perjuangan…”

Kai’ ( kakek dalam istilah bahasa Banjar ) itu mengangkat kepalanya, saya harap ucapan saya barusan bisa membuatnya sedikit terhibur.

***
Jangan melupakan sejarah

Saya cukup menikmati mengobrol berjam jam dengan orang yang sudah berusia lanjut, terutama mereka yang masih lancar dalam berkomunikasi, terutama mendengar dan berbicara. Dan biasanya tema yang paling banyak saya tanyakan adalah tentang apa saja pengalaman yang mereka miliki saat tahun 1945 dan sekitarnya, tentang apakah mereka juga merasakan suasana pertempuran dan peperangan pra dan pasca proklamasi.
 

Saya masih ingat kejadian satu setengah bulan sebelumnya, ketika suasana kaku membungkam semua penumpang yang sedang menunggu bus trans Jogja di salah satu halte daerah Condong Catur, kota Jogjakarta. Saya ikut dalam penantian itu, berdiri di samping seorang nenek berkacamata, dengan tangan keriputnya menggenggam sebuah tas kecil, sambil terus khusyu’ memperhatikan lalu lalang jalan raya kota Jogja yang padat.

Saya pun memulai pembicaraan dengannya, dan ya setelah sedikit berbasa basi mengenai usia, keluarga, anak anak, tempat tinggal, saya mengajukan pertanyaan yang menjadi favorit saya jika sedang berjumpa dengan orang orang berusia emas seperti mereka..

“.. wah berarti saat perjuangan kemerdekaan dulu, masih inget Bu ya, saat jenderal Sudirman bergerilya, dan belanda melakukan serangan lagi terhadap kita…?”

Dan, mengalirlah cerita dari si Ibu berkacamata, bagaimana gedung gedung di Jogja peninggalan Belanda banyak dibuah pasca kemerdekaan, bagaimana ia bersembunyi bersama keluarganya saat pesawat tempur Belanda mengaum di angkasa untuk menjatuhkan bom, dan bagaimana pula ketika gigih dan tangguhnya semangat perjuangan jenderal Sudirman yang melegenda.

Kami terus bercengkrama hingga kemudia terhentikan oleh kehadiran bis menuju Terminal Jombor yang kami nantikan, si Nenek berkacamata duduk di bagian pojok belakang bis, dan saya kebagian berdiri di dekat pintu karena penumpang bis yang sesak lagi penuh, dan kami pun tidak bisa melanjutkan obrolan kami lagi.
Namun sebelum percakapan berakhir, si Ibu sempat berkata.

… anak anak muda sekarang memprihatinkan, banyak tingkah laku mereka yang seolah tidak menghargai darah dan nyawa para pahlawan, saya banyak tahu yang terkubur di Kusuma Negara itu ( nama jalan dan areal makam pahlawan di kota Jogja ), dan tidak banyak generasi muda sekarang yang menghargai apa yang telah mereka lakukan..”

Saya hanya mengangguk dan tersenyum hambar sambil melepas langkah Ibu itu menuju tempat duduknya di antara desakan penumpang yang lain.  Ya, mungkin benar apa yang dikatakan si Kai’ tuan tanah di tempat saya sekarang, bahwa banyak orang tidak percaya apa yang ia ceritakan, karena semua rekan perjuanganya sudah mati, sehingga tidak bisa untuk ditanyai lagi.

Dan ya.., ketika seseorang telah tiada, banyak kenangan, pelajaran, dan penghormatan pergi bersamanya, tidak banyak yang mengingat, karena generasi setelahnya, cenderung banyak yang lupa…



Salam.
Please share and coment if you like this article
 

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar