--> Skip to main content

Istilah Mencicil Kuburan dan Kita Semua Dalam Antrian



Empat hari yang lalu, pakde saya, ( tepatnya pakde kandung dari isteri saya ) wafat, beliau adalah seorang ulama yang kukuh dan kuat memegang pendirian, telah kenyang pula mengecap asam garam kehidupan. Kehidupan beliau yang sangat akrab dengan dunia santri dan pendidikan agama, pengetahuan beliau yang juga luas tentang keilmuan islam, serta sikap dan keteguhan beliau dalam memegang teguh pendirian dan pemikiran, menjadikan beliau salah satu ulama dan tokoh terkemuka yang disegani di seantero wilayah kota Muntilan dan sekitarnya.

Tentu banyak yang bersedih hati dengan kepergian beliau, anak anaknya, cucu cucunya, keponakan, handai taulan, dan bahkan orang seperti saya, yang bukan asli dari keluarga tersebut, yang mengenal beliau karena pernikahan saya dengan salah satu anak adik kandungnya yang juga seorang ulama, juga sangat merasa kehilangan dengan wafatnya beliau.

Saya masih ingat dulu, ketika saya telah menghamparkan semua perlengkapan mendaki gunung saya di teras rumah orang tua isteri saya, yang posisinya berdampingan dengan teras rumah beliau. Saat itu saya berencana untuk mendaki sendirian ke gunung Merbabu atau Merapi yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. 

Dan mendaki gunung adalah sebuah bagian dari hal yang harus sering saya lakukan untuk menjaga banyak hal dalam diri saya tetap seimbang dan harmonis (smile), dan saat itu saya sudah hampir dua tahun lebih tidak mendaki gunung, anda bisa bayangkan sendiri betapa kangennya saya memanggul ransel, dan berjalan sendirian menuju puncak dalam belaian angin ketinggian.

Ketika itu saya tidak melihat bahwa sebenarnya Pakde mengawasi apa yang saya lakukan dari balik kaca rumahnya, kemudian saat semua persiapan saya rasa sudah cukup, perlengkapannya sudah pas, dan siap pakai, saya masuk ke dalam rumah dan menemui isteri saya yang masih menggendong anak kami yang baru berumur sekitar satu bulanan. 


Beberapa saat kemudian, saat saya tengah bercengkerama dengan isteri saya, Ibu mertua saya masuk dan mengatakan kalimat berikut

“… Mas Anton, Ibu mohon maaf banget sebelumnya, Ibu barusan dipanggil Pak de, dan diminta menyampaikan ke mas Anton, supaya jangan mendaki gunung dulu, beliau khawatir, mungkin karena Islamedina ( nama anak saya ) baru berumur sebulan, jadi nggak bagus kalau sudah ditinggal naik gunung oleh ayahnya…”

Saya tersenyum getir mendengar kalimat Ibu, dan tidak mungkin saya membantah orang yang sangat saya hormati ini, orang tua saya satu satunya, meskipun ada kecewa yang dalam banget rasanya…

“… Wah iya mas, nggak enak juga melawan perintah Pakde, adek sih nggak melarang kalau mau tetap berangkat. Tapi, jarang banget lho Pakde itu sampai melarang seperti itu, yang lain saja kadang tidak beliau perdulikan, yo berarti mas diperhatiin dan  disayang sama pakde…”

Kemudian isteri saya ikut menyambung ucapan Ibu, dan itu langsung membuat saya luluh sambil tetap tersenyum getir dan berucap..

“… Ya sudah, nggak apa apa cinto…”

Selain panggilan “sayang”, “dindo”, dan “adek”, kata “cinto” adalah yang paling sering saya gunakan untuk memanggil isteri saya, saya orang Bengkulu, Sumatera, dan tentu saja Melayu, meskipun ayah saya asli putera Jogjakarta, namun karena saya lahir dan besar di pulau yang terkenal dengan sastranya yang tinggi, maka begitulah saya memanggil perempuan yang paling saya sayangi.


Seperti ajaran Rasullullah kan, memanggil isteri beliau dengan sebutan yang menunjukkan rasa sayang, jadi sebaiknya anda juga memiliki panggilan sayang untuk isteri anda. Anda bisa memilih kata sweety, sweetheart, honey, my darling,my love, atau apalah, terserah anda mau yang mana. Tapi jangan kata cinto dan dindo ya, dua kata itu sudah saya daftarkan untuk mendapatkan hak paten. ( smile )

***


Kembali ke kisah tentang pak de tadi.

Sebelum wafat beliau memang telah beberapa kali jatuh sakit, bahkan pada seminggu terakhir sebelum beliau wafat, beliau telah membuat sebuah istilah yang membuat saya pribadi merinding dibuatnya. 

Untuk semua penjenguk dan tamu yang ingin mengunjungi beliau di hari hari akhirnya, beliau sudah tidak mau diajak berbicara lagi, beliau hanya berbaring diatas dipan di kamarnya, dalam kondisi gelap gulita, lampu tidak boleh dinyalakan. Jika ada tamu atau penjenguk yang ingin menjumpai beliau, pintu kamar dibuka, dan ada sedikit cahaya yang menyeruak masuk, dan si tamu bisa melihat kondisi pakde yang terbaring, untuk kemudian pintu ditutup kembali.

“… kok lampunya nggak dinyalain sayang…” saya bertanya kepada isteri saya melaui telepon saat itu.

“…Pak de nggak mau dinyalain, katanya buat mencicil kuburan mas…” jawab isteri saya.

Menyicil kuburan, istilah belum pernah sayan dengar sebelumnya, seolah olah beliau telah merasakan sinyal dari Allah SWT, bahwa waktu beliau di dunia ini, sudah tidak lama lagi, seolah olah beliau telah mengetahui bahwa malaikat Israil telah dalam perjalanan untuk menjemput beliau. Sehingga tampaknya beliau benar benar telah mempersiapkan diri untuk hal tersebut. Subhanalallah.

Meskipun saya bukan tergolong yang dekat dan banyak waktu mengobrol bersama beliau, namun beberapa pelajaran dari beliau yang dikemas dalam kalimat pendek saat mengobrol sewaktu saya sedang mudik, masih teringat dengan jelas dalam benak saya.
 

Seperti saat saya sedikit berdendang dengan kondisi bisnis saya yang lagi down saat ini dihadapan beliau beberapa waktu yang lalu, beliau hanya merespon dengan kalimat pendek sambil tersenyum dengan gaya khas beliau.

“… wes biasa,, jenenge dunyo, ono munggahe, ono medune, seng sabar….”

“…sudah biasa, namanya dunia,  ada naiknya, dan ada juga turunnya, yang sabar …”  

Ya kini beiau telah pergi, Pak de telah kembali kepada Allah SWT.

Semoga Allah Yang Maha Pengampun, menerima semua amal kebaikan beliau, dan menempatkan beliau di tempat terbaik di sisi-Nya.

Aamiin.

Menuju kematian, kita semua dalam antrian


***
Saat ini, tidak ada yang dapat kami lakukan untuk melepas kerinduan kami kepada Pakde, selain hanya merenungi dan mematuhi segala nasehat beliau. 

Bahkan dengan semua yang Allah SWT anugrahkan kepada anak anaknya, sanak saudaranya, berupa kekayaan dan harta benda, kita bahkan tidak bisa menukar itu semua, demi hanya untuk mendengar satu kata “ omelan “ saja dari beliau, yang mungkin ketika beliau masih ada, kita tutup telinga dan bosan mendengarnya.

Beberapa orang bisa saja begitu terpukul dan begitu kehilangan dengan kepergian seseorang, merasa telah kehilangan semua yang ia miliki dalam kehidupan, meskipun kita tahu, kita sebenarnya juga dalam antrian menuju kematian.



Salam
Please share and coment if you like this article
Baca juga : Pria sahabat badai  

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar